Mari Turun Ke Jalan : Minimalnya Menjadi Muslim Semut, Janganlah Sampai Menjadi Muslim Gagak Apalagi Muslim Cicak

 
Muslim cicak merupakan sebutan bagi orang-orang yang enggan tergerak hatinya untuk membela islam yang dihina atau tersudutkan, tapi ia malah berbuat tidak selayaknya seorang muslim.

Sebutan muslim cicak muncul dari sebuah artikel yang saya sendiri baru membaca judulnya saja tanpa membaca isinya. Istilah muslim cicak muncul pada dikala ramainya kasus almaidah 51. Maka saya sendiripun menebak kalau isinya ialah terinspirasi dari perbuatan cicak yang meniupkan angin ke kobaran api Nabi Ibrahim, meskipun perbuatannya tak berdampak apapun. Namun pada dongeng tersebut perbuatan cicak merupakan perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan makhluk Allah terhadap utusan Allah.

Kita juga sanggup membuat judul tulisan, "Jangan menjadi Muslim Gagak" yang banya mulut dengan pekerjaan atau perjuangan semut  dalam memadamkan api yang membakar nabi Ibrahim. Dalam dongeng lain pula ada makhluk lain yang banya mulut dengan apa yang burung kecil lakukan. Sebut saja burung pipit yang dengan paruhnya ia melansir air untuk memadamkan kobaran api di tubuh nabi Ibrahim.

Tak mengapa menjadi muslim burung pipit atau muslim semut yang masih ada hati untuk melakukan apa yang ia sanggup lakukan dalam membela rasul-Nya dan juga membela agama-Nya. Inilah yang dinamakan Ghiroh (Rasa Cemburu) yang berlandaskan iman. 

“Kecemburuan ialah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya kemudian masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka)

Tanya dalam hati deh, jikalau orang tua, istri/suami, adik atau orang-orng yang kita sayangi dihina atau di sakiti, masihkah kita sanggup sabar dengan diamnya kita?

Kitapun masih ingat dengan perjuangan ibunda Hajar yang selalu berikhtiar untuk kehidupan putranya Ismail, meskipun ia sadar bahwa di padang tandus tak mungkin ada mata air yang mengalir. Perjalanannya ke bukit shofa dan marwa terasa konyol jikalau ia sendiri mengetahui kondisi itu. Tapi itulah ikhtiar. Berbuat apa yang ia sanggup lakukan meski terkadang perbuatannya tak masuk kebijaksanaan logika biar Allah menilai kesungguhan kita dengan menurunkan proteksi Nya.

Begitu pulalah analogi semut dan burung pipit kala itu, meski secara kebijaksanaan setetes air dari paruhnya atau sebejana air yang dipanggulnya dipunggung si semut tidak akan sanggup memadamkan kobaran api yang semakin menyala panasnya. Tapi Peristiwa itu telah sanggup membedakan mana yang menjadi pengikut Rasul Nya dan mana yang bukan. Dan Semutpun menegaskan, "agar makhluk lain dan dunia menjadi saksi, berada dipihak manakah saya dan saya sanggup ber-hujah (berargumen) dikala Allah menanyakan apa yang saya perbuat dikala rasul Nya dibakar oleh Raja Namrujd "

Meskipun pada akhirnya  pertolongan Allah lah yang mengakibatkan ibunda Hajar mendapatkan  mata air yang berada di sekitar hentakan kaki Ismail kecil. Nabi Ibrahim yang dengan izin Allah  tak ada luka sedikitpun, meski kobaran api begitu besar yang sanggup saja menggosongkan tulang belulangnya.

Latas kita mau berada diposisi yang mana?
Menjadi muslim gagak yang banya mulut dengan tindakan aktual muslim lainnya?

Atau kita menjadi muslim cicak yang sanggup jadi perbuatannya akan menambah besar kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim.  Tatkala  tak satu pun binatang di bumi dikala itu yang berencana mengobarkan api lebih besar selain si cicak.

Masihkah kita tak ada rasa cemburu kawan, mari bergerak pada siapa kita berpihak.
Silakan tentukan pilihanmu.

Sumber https://www.heriheryanto.com
Sumber https://borobudurtemplenews.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Mari Turun Ke Jalan : Minimalnya Menjadi Muslim Semut, Janganlah Sampai Menjadi Muslim Gagak Apalagi Muslim Cicak"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel