Bpjs-Ku Sayang, Bpjs-Ku Malang
![Bpjs-Ku Sayang, Bpjs-Ku Malang Demo buruh Jabar di Bandung tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan Bpjs-Ku Sayang, Bpjs-Ku Malang](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/09/04/f23be899-a2ff-4fbe-a737-cc705451a8ae_169.jpeg?w=780&q=90)
Jakarta -Awal mula berkarier sebagai penyeleksi risiko asuransi, atau dalam istilah profesi disebut underwriter, saya dibekali oleh mentor dan senior saya dengan pelbagai teori dan alat untuk menghitung sebuah risiko, lebih spesifiknya mengenai kalkulasi kecukupan premi dibandingkan dengan potensi klaim. Secara teori, sebuah produk asuransi hanya mampu dipasarkan jikalau premi yang dihasilkan mampu mencukupi dan menutupi biaya-biaya yang timbul dari penggunaan jasa produk tersebut mirip klaim, biaya operasional perusahaan, biaya cadangan teknis, dan juga target profit.
Untuk menghitung potensi klaim mampu digunakan teori probabilitas Teori probabilitas yang diajarkan di sekolah itu ternyata bermanfaat dalam pekerjaan saya. Teori ini menyajikan potensi kemunculan prosentase tertentu jikalau sebuah eksperimen dilakukan. Contoh yang sering diambil ialah dadu yang dilemparkan berulang-ulang. Pada jumlah lemparan tertentu, dadu itu akan memunculkan angka satu sampai enam pada prosentase tertentu pula. Prosentase itulah yang kemudian digunakan sebagai dasar perhitungan premi. Hukum Bilangan Besar kemudian menawarkan bahwa semakin banyak percobaan dilakukan, prosentase yang dihasilkan semakin stabil. Hukum itu menyatakan, semakin sering eksperimen dilakukan, kemunculan angka yang semula acak menjadi mampu diprediksikan.
Ilustrasi lainnya begini. Seorang pemilik kasino akan kehilangan uang di meja roulette dikala seorang petaruh berhasil "menebak" angkanya. Saya sengaja menambahkan dua tanda kutip tersebut, alasannya yaitu tebakan yang benar itu bersifat acak. Jika si petaruh yang sama kembali bermain, kemungkinan untuk gagal akan lebih besar. Katakanlah ia bertaruh seratus kali, mampu jadi ia hanya akan mampu memenangi dua atau tiga game saja, atau mampu jadi lebih dari itu, mampu juga tidak memenangi satu pun. Pemilik kasino menerima keuntungan dari seluruh uang taruhan dikala si petaruh gagal, dikurangi uang yang dibayarkan dikala si petaruh menang. Bayangkan jikalau terdapat satu juta petaruh dan yang menang hanya beberapa ratus orang saja.
Hal terakhir inilah yang dilakukan oleh pemerintah dikala ini terkait BPJS. Dengan asumsi jumlah penerima yang rutin membayar premi tidak sebanding dengan nilai klaim yang dibayarkan maka cara paling mudah ialah dengan menaikkan iuran premi. Secara teori hal itu sudah benar, tetapi tampak bahwa pemerintah abai untuk berfokus pada upaya menaikkan jumlah penerima yang bersedia rutin membayar premi.
Di situlah letak "kemalasan" pemerintah menggali alasan di balik defisit pengelolaan BPJS.
***
Satu hal yang saya pelajari selama hampir satu dekade berkarier di industri asuransi ialah belum tampak adanya kesungguhan yang mengesankan dari para stakeholder untuk menumbuhkan industri asuransi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan sebagai salah satunya (regulator), yang kemudian perannya diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terbukti gagap, tidak cukup upaya, dan terkesan menyerahkan sebagian perkara mendasar mirip edukasi, kepada industri.
Di sisi lain, para pemain di industri juga terlalu fokus pada kompetisi antarmereka sendiri. Juga, industri mempunyai keterbatasan dana dan lemahnya infrastruktur dikala ingin mengedukasi masyarakat. Hasilnya, penetrasi asuransi di Indonesia masih sangat minim, termasuk yang terkecil jikalau dibandingkan dengan negara lain di tempat ASEAN.
Dalam pandangan saya, kegagalan edukasi ini salah satu penyebab utama defisit BPJS. Masyarakat yang tidak terbiasa dengan asuransi dipaksa oleh regulasi untuk bermigrasi dari sistem pengelolaan risiko keuangan tradisional mirip menabung atau membeli aset mirip sawah, hewan ternak, logam mulia, tanah, bangunan, dan lain sebagainya, yang sewaktu jatuh sakit mampu digunakan untuk biaya berobat, ke sistem ala keuangan modern yang basisnya ialah jual beli risiko berbasis premi yang dibayarkan secara rutin.
Masyarakat Indonesia yang belum insurance minded dipaksa untuk berasuransi. Padahal, asuransi sendiri masih kerap disalahpahami, termasuk oleh kawan-kawan saya dari kalangan menengah terdidik. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana tangkapan masyarakat pada umumnya. Seorang kawan praktisi pernah bercerita mengenai sulitnya mengedukasi masyarakat terkait proyek asuransi "buatan" pemerintah. Hasilnya, anggaran edukasi membengkak. Hasil produknya jangan ditanya, hancur lebur.
Masih banyaknya penerima BPJS yang enggan membayar pada dikala sehat dan baru aktif dikala sakit dan kemudian enggan membayar kembali setelah sehat menawarkan adanya kegagalan edukasi tersebut. Akibatnya, premi yang dihasilkan jauh lebih kecil dari klaim yang dibayarkan.
Selain edukasi, tingkat kesejahteraan juga menjadi ganjalan lain. Premi asuransi yang dibayar rutin setiap bulan menjadi beban embel-embel bagi masyarakat menengah ke bawah yang tingkat pendapatannya masih minim. Pemerintah memang sudah merancang skema subsidi. Tetapi, jikalau berkaca pada belum efektifnya manajemen layanan publik, saya ragu subsidi BPJS telah tepat sasaran.
Pengelolaan BPJS yang "unik" dengan INA-CBG-nya juga menjadi perkara besar. INA-CBG ialah sistem pembayaran paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Skema ini banyak ditolak oleh rumah sakit. Dengan skema ini, pendapatan rumah sakit jauh lebih kecil jikalau dibandingkan non-BPJS. Maka kemudian banyak rumah sakit yang menolak menjadi kawan BPJS. Atau, jikalau bermitra pun kerap ditemui beda perlakuan pada pasien. Bukan hal yang absurd jikalau kita menghadapi banyak kendala dikala berobat dengan BPJS di sebuah rumah sakit, tetapi begitu kita menetapkan membayar dari kocek pribadi, pelayanannya seketika berkembang menjadi supermudah, ramah, dan cepat.
Dan, masih banyak kendala lainnya.
***
Saya menyayangkan jikalau benar iuran BPJS dinaikkan. Selain akan menambah beban bagi para penerima yang aktif, kenaikan tersebut akan menambah citra buruk asuransi, sesuatu yang sedang diperbaiki oleh industri. Pemerintah seyogianya mencontohkan pengelolaan asuransi yang baik.
Saya juga ingin menyoroti skema pembiayaan BPJS. Sewaktu digagas pembentukannya, opsi pembiayaan penuh oleh APBN sempat diusulkan. Sayangnya skema ini ditolak alasannya yaitu dianggap membebani APBN. Keputusannya ialah dengan membagi beban ke penerima manfaat. Dan kemudian kita menyaksikan sendiri dikala ini APBN pun terpaksa digunakan untuk menambal defisit. Dari hal itu kita mampu berasumsi, barangkali alasannya yaitu adanya kajian yang terlewatkan, yaitu faktor-faktor yang telah saya sebutkan. Apakah alasannya yaitu waktu itu mereka sangat yakin akan berhasil, atau justru alasannya yaitu kajiannya hanyalah formalitas dan malas berpikir mendalam mirip wacana menaikkan iuran yang katanya akan segera disahkan itu?
Jika pemerintah memiliki political will, perkara defisit BPJS ini mampu dijadikan proyek edukasi. Meskipun, akan menjadi proyek yang higher cost bagi APBN. Caranya dengan mengubah skema pertanggungan menjadi sepenuhnya asuransi sosial yaitu premi ditanggung APBN dalam jangka waktu tertentu, misalkan selama 10 tahun. Setelah berasuransi menjadi kebutuhan, pemerintah kemudian mampu menggunakan faktor "kebutuhan" itu guna menerapkan pembayaran premi, yang tentu saja dengan premi yang terjangkau, bahkan oleh lapisan terkecil masyarakat. Misalnya dibayarkan sekali dalam setahun. Atau mampu juga di-bundling dengan pembayaran pajak rumah tinggal, atau instrumen lain yang prosesnya sederhana, dengan memanfaatkan teknologi informasi sehingga masyarakat tidak akan terbebani tetapi mampu merasakan langsung manfaatnya. Pengalaman ini akan sangat penting membentuk citra positif berasuransi.
Skema pembayaran klaim ke pihak rumah sakit seyogianya tidak eksklusif. Misalnya dengan mengubah INA-CBG ke skema lain yang lebih ramah bagi pebisnis di industri kesehatan. Harapannya, dengan perubahan skema itu tidak terjadi lagi kesenjangan pelayanan antara pasien BPJS dan bukan. Penting untuk memahami bahwa rumah sakit ialah lembaga yang berorientasi profit.
Bagaimanapun juga, kesehatan ialah hal yang sangat mendasar bagi setiap warga negara. Perlindungan dari negara kepada warganya dengan skema BPJS sejatinya sangat bermanfaat, terutama bagi kalangan berpenghasilan menengah ke bawah. Jangan sampai kegagapan pemerintah mengelola BPJS dan mengambil jalan pintas menaikkan iuran berkembang menjadi bumerang yang dikhawatirkan malah akan semakin memperburuk pengelolaan BPJS pada khususnya, dan industri asuransi pada umumnya.
Hilmi Amin Sobari praktisi asuransi dengan kualifikasi Ahli Asuransi Indonesia Kerugian, menerima beasiswa kursus singkat dari Insurance School of Japan di Tokyo pada 2013
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari gesekan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat gesekan pena kamu sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com Sumber https://borobudurtemplenews.blogspot.com
Belum ada Komentar untuk "Bpjs-Ku Sayang, Bpjs-Ku Malang"
Posting Komentar